Opini- Akhir-akhir ini kita kerap kali dihidangkan dengan maraknya pemberitaan mengenai isu lingkungan. Bumi yang kita huni saat ini memang sedang mengalami kegelisahan, bagaimana tidak permasalahan mengenai pemanasan global (global warming) dan perubahan Iklim (climate change) memang bukan lagi suatu hal baru. Permasalahan akan pemanasan global semakin menggila dan terus mengancam perjalanan bumi kita ditahun-tahun yang akan datang, bumi kita semakin panas. Intergovernmekal Panel on Climate Change (IPCC) baru saja merilis laporan terbaru mengenai situasi iklim terkini. Dalam laporan tersebut IPCC menyebutkan bahwa krisis iklim terjadi semakin cepat yang mengakibatkan cuaca extrim diseluruh dunia.
Para ilmuwan mengatakan, pemanasan global disebabkan oleh aktivitas manusia sejak era revolusi industri pada abad ke-18, sebab pada masa itu industri sudah mulai masif menggunakan bahan bakar, seperti penggunaan bahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas alam). Penyebab lain yaitu karena ulah manusia yang melakukan pembuangan limbah industri, limbah peternakan dan pertanian sembarangan, penebangan hutan secara besar-besaran, semakin meningkatnya emisi gas karbondioksida dari efek rumah kaca (ERK), serta semakin melonjaknya jumlah kendaraan yang mengakibatkan meningkatnya polusi udara.
Jika kita berbicara mengenai kondisi bumi saat ini, sungguh sudah sangat memprihatikan. Seperti halnya kejadian yang sedang marak diperbincangkan oleh para pemerhati lingkungan, yakni mengenai akan didirikannya PLTU batu bara di Kalimantan. Pembangunan tersebut mendapat banyak sekali penolakan dari berbagai pihak termasuk para aktivis lingkungan.
Sejenak mari kita belajar dari kejadian yang dialami masyarakat di rusunawa Marunda Jakarta. Dikutip dari laman akun sosial media Greenpeace, yakni sebanyak 63 orang menderita gatal-gatal dengan tingkat keparahan yang beragam akibat polusi udara dari debu batu bara sejak beberapa bulan yang lalu. Berdasarkan data alat pemantau kualitas udara, Marunda sudah melewati ambang batas udara yang layak menurut WHO. kandungan DM 2,5 dalam udara di Marunda dapat memicu ISPA, penyakit jantung, gejala iritasi kulit, hingga penyumbatan darah di otak.
Tidak berhenti sampai disana, akhir-akhir ini kita kembali disajikan dengan pemberitaan mengenai akan dilegalkannya lahan kebun kelapa sawit baru, dikutip dari laman akun sosial media Greenpeace, bahwa seluas 3,3 juta hektar kebun illegal akan dilegalkan. Seperti yang sudah ditegaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahwa tidak ada pemutihan sawit dalam kawasan hutan. Namun sayang, semua itu bertolak belakang, diketahui bahwa lahan sawit ilegal tersebut berada dalam kawasan hutan yang secara jelas melanggar peraturan. Alih-alih mengembalikan hutan untuk digunakan sebagaimana semestinya, malah seolah-olah melegalkan kejahatan terhadap lingkungan.
Belum cukupkah sains menjelaskan kita secara data bahwa bumi yang kita huni saat ini sudah semakin memperihatinkan. Jika terus seperti itu lantas apa yang akan terjadi. Tentu ancaman akan terjadinya bencana akan semakin meningkat, krisis iklim dan cuaca ekstrem bisa terjadi di mana-mana, di darat akan ada banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, hingga kelangkaan ketersediyaan air bersih, di laut rusaknya terumbu karang dan beragam spesies hewan laut terancam punah dan mati. Perubahan iklim dan cuaca ekstrem bisa menyebabkan penyebaran penyak berisiko tertular akan semakin meningkat. Belum lagi kita akan kekurangan lahan yang bisa digarap akibat banjir yang terus melanda, bahan makanan akan semakin mahal, populasi manusia terus meningkat, sementara logistik dan bahan makanan akan semakin berkurang, belum lagi aktifitas kita terhenti dikarenakan terjadi bencana di mana-mana.
Hal tersebut memang terdengar seperti menakut-nakuti, namun siapa yang dapat memastikan semua akan baik-baik saja jika kita terus saja tidak perduli terhadap kondisi bumi. Sampai kapan kejahatan terhadap lingkungan akan terus dilakukan. Lihat saja sekarang, sekumpulan penguasa, bahkan para pengusaha semakin bertingkah, mereka sangat rakus dan egois, mereka hanya berfikir untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan kesenangan duniawi mereka saja. Tanpa memperdulikan dampak yang disebabkan akibat rusaknya alam dan lingkungan.
Sangat disayangkan, kemudian orang miskin adalah pihak yang paling menderita dan paling banyak disalahkan. Bayangkan saja, ketika hanya orang kaya yang dapat membeli air jika terjadi kelangkaan air bersih. Belum lagi masalah-masalah yang diakibatkan oleh banjir, lahan pertanian yang biasanya dijadikan untuk bercocok tanam dan berkebun, tentu menjadi rusak. Tempat-tempat yang menjadi komoditas pertanian tidak lagi dapat memanen hasil bumi. Lagi-lagi yang disalahkan adalah orang miskin, karena hanya orang kayalah yang dapat memastikan ketersediaan pangan mereka. Bayangkan saja akibat dari terjadinya banjir, tentu akan mengakibatkan semakin ganasnya penyebaran penyakit, seperti malaria atau demam berdarah. Tentu saja hal tersebut juga dapat mengakibatkan terjadinya krisis tenaga kesehatan, dan lagi-lagi orang miskin akan menjadi korban dari itu semua, karena hanya orang kaya yang mendapatkan akses pelayanan kesehatan.
Hidup berdampingan dengan alam mestinya semakin membuat kita sadar dan peduli terhadap lingkungan. Mengutip pernyataan sekretaris jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan, “era pemanasan global telah berakhir, sebagai gantinya, era pendihan global sudah dimulai.” Hal tersebut disampaikan Guterres kepada wartawan di New York, Amerika Serikat (AS) pada Kamis (27/7/2023).
Isu ini bahkan telah mempertemukan para pemimpin dunia tak terkecuali Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, Indonesia hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP 26, di Glasgow, Skotlandia, tanggal 31 Oktober hingga 12 November. Sebagaimana dilansir dari situs web PBB Conference of the Parties COP26 merupakan konferensi iklim terbesar dunia, konferensi terkait iklim terbesar dan terpenting di planet ini. yakni sebuah forum tingkat tinggi yang diikuti 197 negara. Mereka membicarakan permasalahan perubahan iklim terkait dengan masa depan dan rencana untuk menghalangi krisis iklim tadi terwujud. Namun tentunya akan terjadi tarik ulur, nego menego yang berbelit-belit, karena tentu masing-masing negara memiliki kepentingannya sendiri. Namun bagaimanapun juga, pemimpin harus memimpin, tidak boleh lagi ada keragu-raguan, kesepakatan harus tetap dilaksanakan dan diwujudkan. Dunia harus melakukan penurunan karbon secara progresif, untuk mencapai target nol emisi. Jangan sampai komitmen pemimpin-pemimpin dunia bergerak fluktuatif. Hanya kuat dalam lembaran naskah perjanjian, tetapi lemah pada tingkat implementasi.
Dengan hanya gelisah tentu tidak akan merubah keadaan. Mengamati fenomena di atas, sejenak mari kita mencoba berfikir untuk berbuat sesuatu untuk perbaikan bumi. Bumi memerlukan bantuan tangan-tangan kecil kita untuk mengatasi pemanasan global, manusia selama tinggal di bumi tentunya tidak bisa terbebas dari resiko maupun tanggung jawab. Mari gerakkan hati kita untuk mulai peduli terhadap keberlangsungan bumi ini. Tanpa keikutsertaan semua pihak mulai dari pemerintah, pemerhati lingkungan, dan semua kalangan masyarakat, kelestarian bumi ini tentu sangat sulit untuk kita wujudkan. Sampai pada saat ini kita harus semakin serius mempelajari isu ini termasuk mengawal kebijakan dan langkah-langkah pemerintah.
Kemudian yang menjadi pertanyaanya adalah, langkah apa saja yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi pemanasan global? Saya rasa ada banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberlangsungan bumi kita, baik secara individu maupun kelompok. Semisal mulai menggunakan energi yang ramah lingkungan, efisien dalam menggunakan energi, memulai dengan mengelola sampah dengan baik, tidak membuang sampah sembarangan, mengubah kebiasaan lama dan pola pikir, dari menangani limbah yang ada tetapi menjadi mencegah limbah terbentuk, dan juga mulai membiasakan diri untuk menanam pohon.
Sebelum terlambat, marilah kita sama-sama mengulurkan tangan untuk peduli terhadap bumi. Misalnya dengan menanam pepohonan pada lahan-lahan yang sudah gundul. Seperti yang kita ketahui bahwa hutan yang dimiliki Indonesia memiliki potensi tinggi, menurut saya keberadaan hutan yang selalu kita rawat dan kita jaga tentunya dapat menjamin cukupnya ketersediaan sumber air, oksigen dan habitat bagi organisme, sebab pohon dapat menyerap karbondioksida sehingga bagus untuk menjaga suhu bumi, tentunya dengan banyak menanam tumbuhan hijau juga bisa menyebabkan emisi CO2 ke atmosfer berkurang. Hal-hal kecil yang dapat manusia lakukan, jika secara sistematis tentu akan memberikan efek luar biasa.
Kawan bahwasanya bumi dan seisinya sudah menjadi tanggungjawab kita bersama. mari sayangi bumi ini, bumi inilah kelak yang akan kita warisakan untuk anak cucu kita nanti. Anak cucu kita tentu tidak berhak menanggung dosa sejarah atas apa yang telah pendahulunya lakukan. Akhir kata Selamat Hari Bumi, 22 April. Marilah kita bersama membuka mata, dan melihat lebih dalam atas apa yang telah alam berikan untuk kehidupan kita.(Red)